Monday, September 28, 2009

karbonasi: rokok

Sore ini mengagumkan, sungguh. Tuhan sedang senang kali ini, pikirku. Dengan mood bagus, DIA menghadirkan guratan senja merah di antara cacahan putih. Matahari dengan lapang dada menghindar, matahari tau benar dia tak dibutuhkan. Lukisan alam yang sempurna, gumam dalam hati yang diakhiri dengan senyuman. Berdiam diri dan terkagum selama beberapa menit kemudian melanjutkan perjalanan. Rambut saya telah pendek, hasil salon dekat rumah. Celana pendek telah digantikan dengan jeans belel berusia berbulan. Kaus kerah sabrina rela ditiban dengan cardigan-yang juga hitam-demi kesopanan. Tas slempang hitam yang senada dengan convers-yang juga hitam-klasik, seragam waktu kuliah. Menapaki jalan pinggir kota sambil sesekali menghujatnya lantaran asapnya lebih kejam dari bilah pedang mana pun. Jakarta bias membunuh dengan cepat tanpa perlu kau sadari. Seperti angin duduk yang mengambil nyawa tanpa jejak. Kau terbengong, kau kaki dank au mati, begitulah. Peak hour, memang lebih parah. Asap kendaraan seakan memusuhi secara frontal walau kita tak melawan. Tutup tanganmu atau kau mati.


Kampus ini, menguar sejuta kenangan manis. Beberapa pahit yang dengan sengaja saya kokohkan jadi manis. Cukup hidup saya yang hancur, jangan dunia pedidikan saya juga ikut hancur. Jika itu terjadi, matilah saya.

Saya telah berjalan jauh dari mulut gerbang kampus. Kemudian duduk sebentar lantaran cape. Menyulut rokok dan memainkanya ke langit. Saya sangat menyukai saat-saat seperti ini. Menikmati kesederhanaan hidup yang telah ruwet dari sananya. Menikmati rokok sambil merenung adalah kegiatan yang menyenangkan, silahkan dicoba kapan-kapan ya?

Anak itu kembali datang. Duduk manis di sebelah saya tanpa perlu di suruh. Saya mulai heran, kenapa setiap saya mulai menyelami diri, anak itu selalu datang. Kali ini tanpa pasta coklat tapi tetap denga baju yang sama. Dia tersenyum dan melekatkan pandangan pada saya. Anak ini manis, piker saya dalam hati.

“kakak jangan kebanyakan merokok, ntar mati lo!”.
‘sanrai aja. Hidup memang harus dinikmati bukan?. Ini cara kakak menikmati hidup”.
“memangnya masalah kakak bias ilang kalo ngrokok’.
Anak ini semakin pintar saja. jago sekali dia menasihati orang tua.
“engga juga, seengganya ini bias nhebuat kakak lebih focus. Semacan sugesti begitulah”.
“hm…..”.
Anak itu terdiam dan kembali menatap saya. Entahlah, mengertikah dia tentang apa yang saya ucapkan barusan.

‘kak, saya minta rokoknya. Saya mau fokus, kayak kakak!”.
Saya terdiam menelaah permintaan anak ini. Menatap lekat matanya dan mencari keseriusan.
‘kamu serius?’.
“seriuslah!”.

Saya salutkan sebatang kemudia saya sematkan ke mulut anak itu. Dia termangu, memandang ke depan jalan dan sembil menikmati rokok pemberianku. Hidup anak ini pasti-juga-berat, pikirku dalam hati.
Kami seakan seri dalam posisi yang juga seri. Perkenalan anak itu terhadapa rook yang tanpa dia sadari adalah awal perkenalanku terhadap rokok dulu.

No comments:

Post a Comment