Sunday, September 6, 2009

saya dan kematian...

Saya gagal mati.

Saya manangis hingga sesak. Mengelola produksi air mata dan udara, sangatlah susah pda waktu bersamaan. Diatas gundukan tanah merah, saya berdiri dan mematung. Lama sekali saya tak bergeming. Entah tetes keberapa air mata ini. Gundukan ini semakin mengering. Baru saja saya siram, tapi seketika mengering. Saya duduk dan terpaku. Melafadzkan tulisan dalam hati, nama manusia diatas kayu yg tertancap diatas gundukan tanah. Kuburan.

Saya tidak kenal orang itu. Saya juga tak tau kenapa saya kemari. Saya pulang kuliah, dan berbelok kesini. Tanahnya masi basah. Bunganya masih segar. Saya datangi dan berakhir saat ini. Saya sedih bukan untuk manusia ini. Saya sudah bilang, saya tak kenal dia.
Berjuta kata, tertelan tanpa bersuara. Secara kompak mreka diam saat haknya kucabut. Tertanam hingga busuk dalam hati. Saya pun tak bisa berdoa. Tak tau harus berdoa apa. Berdoa yang seharusny mati bukan dia. Tapi aku. Dia sangat beruntung dan aku sangat sial. Satu kesempatan mati telah hilang. Dengan paksa sang maut menggaetnya, bukan aku. Menghela nafas yang dalam. Kemudian berteriak, kapan giliranku. Saya sudah bersabar, tak melakukan atas inisitif sendiri. Jangan lama-lama. Saya mau menunggu hinggu 3o tahun. Masi ada waktu 9tahun lagi. Saya tunggu kamu.

Lamat-lamat, kaki berjalan lambat. Menjauhi pelataran pemakaman. Sekali lagi saya ucapkan selamat. Entah siapa kamu yg di bawah sana. Selamat, hakiki keabadian telah kau rengkuh.


Kesempatan mati saya gagal lagi.

Saya bangun pagi sekali. Sekitar pukul 8. Dikatakan pagi, lantaran saya biasa bangun jam 11. Sebuah sirkulasi menjalani hidup yg salah. Saya memulai hari saya pukul sebelas dan mengakhiri hari pukul 3 dini hari. Saya rasa tubuh saja sudah merenta. Mengalfakan saat pembagi sinar matahari pagi. Memundarkan jam makan pagi menjadi makan siang. Jam makan siang menjadi makan malam dan makam malam menjadi makan dini hari. Perut dan mulut sudah tertunduk mati dibawah perintah kebiasaan yg telah terpelihara oleh waktu.

Siang itu panas sekali. Secara harafiah dan kiasan. Sedari pagi, wanita tua yg menyahut dipanggil bu haji, menggerutu saja. Memaksa telinga mendengar keluhanya, membuat hidup menjadi hitam. Saya bergegar, mengepack barang dan keluar rumah. Saya mendatangi sebuah departemen yg dapat menukar kehidupan dengan masa depan. Terdengar mengerikan memang. Namun, banyak saja orang bodoh yg berminat, termasuk aku. Dikatakan begitu karena kita rela beradu jotos hanya untuk sebuah tempat duduk yg bias dengan kehidupan besok dan lusa. Saya harus rela menjadi teri untuk itu. Berada ditengah masa dgan tubuh keringat, bau dan sesak nafas. Saya di hantam dari belakang, saya balas hantam lagi. Seperti itu seterusnya. Saya senang. Saya megap2 mengais kadar oksigen yg menjadi seberti batu mulia, mahal dan bernilai. Saya pikir saya bakal mati. Entah kehabisan oksigen atau terinjak hingga mati. Nyatanya saya tetap hidup. Tidak lebih baik, ketika raga hidup tapi jiwa mati.

No comments:

Post a Comment