Sunday, September 6, 2009

karbonasi

Anak itu, ayunan dan saya
Saya selalu melakukan hal ini. Kegiatan bodoh yang menyenangkan. Terbaring seru mengenakan kaus hitam-leher sengaja dipotong sabrina-dan sebuah clana pendek-jeans yg dipotong asal selutut. Sambil memutar rambut dengan jari telunjuk kanan dan sambil menghisap rokok menthol ditangan satunya. Posisi yang nyaman mendengarkan lagu balad tema cinta yg konyol. Sesekali bergerak, membenarkan posisi atau menyeruput kopi yang juga ritual dasar. Kepala saya terlalu berat untuk berpikir, kepenuhan. Volume otak kecil yang dipaksakan memuat banyak memoar, overload hingga short term memory. Jeleknya lagi, kejadian buruk slalu diingat dengan matang dan sebaliknya. Saat ini, adalah memoar yang menyedihkan. Sebuah sebab dan akibat. Saya muak lantaran memoar buruk tadi kemudian brakhir sperti ini. Bukan pertama kali, jadi sebuah kebiasaan.

Ruangan kecil ini sudah menjadi pengap. Berisikan saya, radio, nikotin dan juga ingatan yang menguap. Menggumpal dengan sempurna dan menyedot oksigen. Saya bisa mati jika bertahan. Merasa belum 30 tahun, saya memutuskan ke luar.

Berkoloni, saya jalan tak tentu. Ada saya, pack menthol rokok juga handphone. Menjadi bodoh kemudian lantaran lupa memakai jaket, dingin dan bernyamuk. Entah kemana saya membuana. Sebuah lapangan dengan penerangan seadanya, saya memutuskan berhenti. Ada sebuah ayunan diatas bak pasir, saya duduk. Mungkin menahun usia ayunan ini, berbunyik gemerinyik saat bergerak. Menyulut rokok kesekian kemudian menatap langit, mencari kegiatan.

Dia berjalan pelan tapi pasti. Tanpa malu, dia duduk di ayunan samping ayunan saya. Dia tersenyum dan menunduk. Saya pun menunduk lantaran keki. Kami berdua merunduk dan ayunan bergerak bermomentum satu. Kami adalah karbonasi. Dia adalah saya-dulu. Dan saya adalah dia-kemudian. Sbuah panorama satir pukul 2 dini hari.



kita, mana yang cermin.

Anak itu lucu dan menggemaskan. Bayangkan saja perawakanya: kecil, kurus, hitam dan lincah. Potret anak kecil dengan segudang pertanyaan. Saya gemas kemudian, namun saya tutupi. Sadar bahwa saya momok menakutkan buat anak, saya memutuskan diam. Dia mengenakan kaus putih di dalam sebuah baju kodok sepaha dan sebuah sepatu semi pantopel. Dia juga menggenggan sebuah pasta coklat(red.choki-choki)di tangan kananya. Dia menggoyangkan ayunan dengan kaki sekali tolak. Ayunan ini memang didesign untuk usianya.

'kamu kok ga tidur?', tanya saya sambil mengayun ringan. Saya sengaja membuang muka saat menghembus asap.

'belum, kakak?'.

'belum juga. Kakak sedang bingung'.

'saya tidak'. Singkat dan membias. Anak ini pintar memainkan benak orang.

'nama kamu siapa?. Mama kamu ga nyariin?'.

'kakak. Mama saya di rumah, sedang bertengkar'. Jawabnya enteng sambil membuang plastik pembungkus pasta yang telah kosong.

'maaf ya, kakak ga tau'

'kalo saya gede. Saya ga mau nikah, biar saya ga brantem. Saya tau rasanya jadi anaknya'.

'kakak juga ga percaya sebuah pernikahan. Sebuah konsep penyatuan yang menyedihkan'. Pelan saya menjawab kemudian berpikir panjang. Anak ini serupa dengan saya. Bingung dan memutuskan untuk bengong, rokok telah habis.

Saya diam dengan benak memantul, begitupun anak itu. Malam begitu hening. Bulan sedang membulat sempurna. Walau tanpa angin, terasa sangat nyaman. Malam masih panjang pikirku. Memandang anak itu lekat-lakat dan tersenyum. Smoga anak itu bisa berkembang lebih baik dari saya. Tak tau keadaan sebenarnya, saya menyulut rokok menthol lagi. Menghirupnya dalam-dalam dan menikmatinya.

No comments:

Post a Comment