Sunday, September 6, 2009

sebuah novel: Abu-abu

Abu-abu
luna dan spotlight

Sangat hingar, juga ricuh malam ini. Sejumput pengharapan dan asa harus kuraba di dalam ruangan ini. Lampu, kadang temaran kadang gelap-seolah mengajak duel terhadapku. Banyak manusia dan banyak keringat. Mereka bergoyang pantat dan mengasruk lawan dansanya. Mereka layaknya budak bebas-namun bahagia- di bawah pecut dj. Mreka membayar untuk itu. Sang dj pun memegang kuasa penuh, sangat menyenangkan rasanya. Kali ini pun berbeda. Adalah kaberet yang membuat malam ini special. Layaknya stimulus yang tertanam oleh waktu. Jika billboard menyala terang, maka dengan sendirinya manusia-manusia berdatangan. Kami yang mereka tunggu, siapa lagi. Kami robot yang tunduk pada mreka. Dan mreka membayar kami untuk itu. Sebuah sirkulasi yg aneh. Saya runutkan untuk anda yang kurang mengerti. Manusia membayar sejumlah nominal untuk dijadikan budak. Sang majikan memainkan cambuk audio diselingi visual untuk membudaki para budaknya-budak membayar lg kepada majikan. Dan kami adalah rotasi paling bawah-juga puncak. Kami adalah robot yang juga dibayar oleh budak. Semakin bodoh para budak, maka semakin senanglah kami. Membayangkan sejumlah nominal hanya bermain dibatas libido mereka yang abu-abu. Kami adalah permata yang boleh dilihat tapi tak boleh disentuh.

Di ruangan ini terdapat 12 orang. Mereka lalu lalang tanda sibuk. Baju kami serupa tapi tak sama. Terbuka di bagian atas dan bwah. Tak jarang ada aksen renda dan jaring di sana-sana. Rambut kami tertutup oleh juntaian bulu-bulu. Kami berwarna, tapi bukan karnaval. Masing-masing memiliki warnanya sendiri. Saya berwarna ungu, gelap dan misterius. Sebuah nama yang otentik pun berkarbonasi dengan warnaku. Kalian bisa memanggil saya luna-nama panggung saya. Saya tak perlu menjelaskan korelasi ungu dan luna bukan. Karna saya tidak dibayar untuk itu. Jika kau memanggil nama ktp kami, maka kalian tidak bisa menemukan kami. Memang menyulitkan memiliki dua nama. Kami bukan boneka perca, tapi kami boneka porselen. Cantik dan indah di luar, namun kosong di dalam.

Saya memandang riasan di cermin. Merunut tatanan baju saya, dari atas sampai bawah. Rambut bob, lingerie ungu-dengan perut terbuka, stocking hitam dan high heels hitam-7cm. Saya memutar tubuh saya dan terpaku pada bagian bokong. Terdapat pita besar-berenda putih-disana. "Wardrobe kali ini mengagumkan". Gumanku. Sesekali saya menggoyangkan bokong, tanda puas. Dalam hati saya bergumam, "saya luna, gadis sexy, misterius dan kelam". Mereka tidak perlu kenal siapa saya. Siapa nama saya. Atau pun berapa umur saya-yang belum legal. Mereka datang dan membayar hanya untuk melihatku berlaga kabaret. Saya adalah drag queen. Dan panggung ini adalah kamar saya dan gradien-gay club- ini, adalah rumah saya. Mereka tidak membayar saya untuk tahu siapa saya.

"sistalavista", the kabaret. Showing at gradien club at 21th desember 2008. Tagline yang terpampang besar-besar pada billboard di depan club. Harga tiket masuk @150.000 + free first drink. SistaLavista adalah nama grup kabaret kami. Saya dan sebelas drag queen lainya, sudah menjadi residance drag queen di club ini. Sebulan dua kali-pada minggu ganjil-kami pentas. Dalam sekali pentas, saya di bayar lima ratus ribu.
"gimana penampilan gw, beb?". Tukas cherry- drag queen berbaju merah tua-sambil memutar badan di depn kaca.


Tirai membuka dan sorak mengiringi. Sebuah otomatis yang bekerja tanpa perintah, seperti terkekang waktu begitu. Satu persatu kami-para drag queen- keluar dari tirai. Berjalan setapak kucing guna mendapatkan pandangan-bokong-yang sexy. Kami-laki-laki-memang sudah terbiasa mengenakan high heels. Berbagai warna bermunculan sesuai tempo yang ditentukan. Saya keluar stelah reffrein pertama. Kali ini, rock steady dari all saint yang mengiringi kami. Saya berada di posisi kanan pada baris ke-dua. Kreography ini sudah kami mampatkan sekitar tiga hari lalu. Bang fitrah adalah sang koreografer di belakang tarian binal ini. Smakin binal kami menari, maka-dengan sendirinya-penonton berteriak. Saya sedang memainkan alter ego saya. Memanjakan kelaian skidzofrenia saya. Membungkan jiwa-asli- dan memaparkan jiwa lain saya. Saya adalah dimas dan juga luna. Dimas adalah sisi luar cermin dan luna adalah sisi dalam cermin. Sangat menyenangkan pekerjaan saya ini.

Sebuah ruangan telah dipersiapkan untukku. Saya penari telanjang-juga. Seperti ini cara kerjanya. Saya adalah penari kabaret bersama sistalavista. Menari berkelompok dan mencoba menonjolkan diri. Semakin menonjol anda, maka smakin menguntungkan. Jika ada penonton yang suka, maka dia bisa mendatangi bang fitrah. Melakukan perlobian hanya untuk melihatku menari terlanjan-live dan private. Sejumlah uang harus dibayarkan untuk itu. Kemudian bang fitrah menyiapkan sebuah ruangan-yang hanya ada sofa, meja dan sebuah tiang diatas meja. Penyewa-jasaku-menunggu dengan puncak libidonya dan kemudian saya datang. Penyewa menelan ludah saat saya bergelut pada tiang dan menyisihkan perseri costumku. Semakin polos saya, maka semakin turun anak teka sang penyewa. Kemaluan penyewa tegang, maka tugas saya pun tuntas.
Lima ratus ribu adalah uang yg saya dapat untuk menghibur panas ini. Dan penyewa harus membayar satu juta hanya untuk melihat saya bergeliat diatas meja-dan tiang-dengan tubuh tanpa benang. Sebuah harga yang wajar untuk saya. Saya sudah cukup puas dengan ini, entahlah.









Abu-abu
dia datang, duduk dan mendengarku bercerita

Seharusnya saya tahu, dia yang akan datang. Sebuah bentuk eksistensi statis yang juga dikukuhkan oleh waktu. Setiap kamis malam-minggu ke-dua stiap bulan-dia datang mengunjungi club, Lebih tepatnya saya. Tanpa ragu dia datang dan tanpa perintah dia pulang. Ini minggu kedua bulan febuary, kembali hadir-seharusnya saya tahu. Dia membuat kunjungan kepada sebagai sebuah ritul-datang, duduk dan mendengar. Sebuah polo short-berbagai warna-atau kemeja tangan pendek dipadu celana khaki serta sepatu kulit, selalu dia kenakan. Sebuah seragam layak sd dengan merah-putihnya atau sholat dengan mukenanya, juga sebuah bentuk eksistensi. Dia selalu datang dan duduk pada waktu dan tempat duduk yang sama. Sebuah pilihan yang janggal untuk memilih tempat duduk. Orang lain memilih tempt duduk yang mendekati dek dj ato bar, namun dia beda-semakin jauh dari keramaian semakin baik. Saya tidak paham filosofi ini, saya tidak pernah bertanya dan tidak akan. Dia hanya minum segelas wine-putih dengan tahun dan brand yang sama-dan mengedar pandang, padaku. Dia terpesona namun tidak tertarik. Dia melihat namun tak tertegun. Hanya penasaran mungkin. Dia kembali duduk pada tempat yang sama. Memandang kosong setiap orang yang memberikan senyum padanya. Bukan usiaku untuk itu, pikirnya. Tegukan terakhir dan dia masih melihat saya berdansa, Dia tidak pernah senyun kepada siapa pun, tidak dengan saya. Dia seolah memiliki selaput yang hanya rentan terhadapku. Tegukan terakhir-gelas kedua-dan aku masih berdansa, Dia berkesiap bangun dan pergi-Saya tidak peduli dan menyelesaikan dansaku. Reffrein terakhir sebelum closing. Saya akan menyibakkan rok-pita-rampel ini dan me-mantati para penonton, sangat binal memang. Dua gelas-wine-kosong tetap ada di meja, namun dia telah pergi. Dan ada 3 lembar pecahan ratus ribu di sampingnya. Harga yang murah untuk dua gelas anggur itali. Saya berani jamin, anggur tersebut tidak lebih dari lima tahun usianya. Yang saya tahu, smakin lama anggur berumur maka semakin mahal harga. Dia telah pergi, dan saya tau dia kemana.


Saya berjalan anggun-dengan baju yang juga anggun-mendatangi sebuah ruangan. Sebelum itu, saya menyambangi kekasih hatiku-my richard-dan memintanya membuatkanku minuman. Tanpa banyak kata-sedikit isyarat-dia kembali menari bersama gelas dan botol. Saya kagum dengan orang ini, dia sangat cekatan. Dia mengelus mesra badan botol-layaknya tubuh seorang gadis-kemudian melemparnya ke udara kemudian ditangkapnya kembali-dengan mahir-lalu diciumkan bibir botol dengan bibir gelas. Dia adalah sang laki-laki perkasa yang sedang berdansa dan botol adalah gadis dansanya. Apik, menarik juga mencengangkan. Kemudian dia menyodorkan gelas kecil kepadaku, long island. Saya terlalu kecil untuk segelas besar, katanya. Sekali teguk dan saya puas. Mungkin dia benar, gelas kecil untuk porsi anak kecil. Dia sangat ahli dalam hal ini. Bayangkan, ada 12 drag queen disini dan dia mengingat semua minuman kesukaanya. Dan salut saya yang ketiga, dia masih cinta wanita. Sebuah ironi memang, pria normal yang bergelut di antara kubangan pria homo. Dia tidak pernah mengharapkan ditaksir wanita, tidak diganggu seorang homo saja sudah bagus, pikirnya. Dia bukan homophobic-untungnya-jadi dia tidak takut padaku. Dia sayang-sekali- padaku. Aku pun begitu. Selain maggie-ikan mas peliharaanku-hanya dia yang mau menerimaku. Setidaknya untuk saat ini. Dia adalah abang paling luar biasa yang saya punya. Kakak kandungku, mana mau menerimaku setelahku begini. Kadang kala aku berpikir, apa pandangan gadis yang didekatinya setelah tau bahwa dia bekerja di club gay. Mudah-mudahan dia tidak sesial itu, doa saya dalam hati. Dia selalu mau aku bahagia. Dan saya mau dia selalu bahagia-sudah seharusnya. Selain minuman racikanya enak, nasi goreng sosis buatanya pun jagoan. Saya selalu habis dua piring, kadang lebih. Aquarium si maggie adalah pemberianya.
Aquarium bulat kecil telah menggeser toples sebagai rumah si maggie. Sang toples kembali menjadi fungsinya. Satu lagi saya dan dia pernah membuat tatoo yang berbeda di tempat yang sama-bagian atas bokong.

No comments:

Post a Comment