Monday, September 28, 2009

Prosa Janggal Tak Teraksara, Sebuah Obsesi.

Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi diantara saya dan dia-prosa janggal tak teraksara. Saya hampir memberikan semua nama untuk setiap orang yang hadir-dalam tema cinta-dalam hidup saya, Dan dia salah satunya. Sebuah kisah klasik dimana adik kelas selalu terperangkat di dalam sebuah medan cinta sang senior. Saya bodoh, saya juga terseret masuk dalam naskah standar percintaan sinetron abad ini. Kehidupan memang tak bisa kita atur semudah kita mendekatkan mulut bagian atas ke hidung dan menghirup baunya. Tidak ada yang tahu bagimana hidup mempermainkan kita, layaknya kita mempermainkan action figure dan memperlakukan mereka sesuka hati kita. Saya jadi teringat zaman SD ketika saya memainkan orang-orang dari materi plastic -dengan warna menyala-biasanya berbentuk tentara dan sebagainya. Kita dibuatnya menjadi hidangan lucu yang disaksikan oleh alam. Alam tertawa senang ketika kita masuk ke dalam kubangan, keluar, kemudian masuk lagi secara berulang-ulang. Bagaimana pun, alam butuh hiburan.


Saya mencintainya-akhirnya-setelah tiga kali penembakan. Awal saya selalu menolaknya dan berdalih, “ liat ke depanya aja ya!”. Entahlah, saya masih belum merasa cukup pembelok-istilah saya dan kerabat lama saya menyatakan gay-pada saat itu. Sebuah pepatah usang, kau tidak akan merasakan berharganya sesuatu sebelum kau kehilanganya, memang ada benarnya juga. Saya sangat marah setelah tau dia menjalani hubungan serius dengan seorang gadis. Saya tidak akan marah jika gadis itu-ternyata-lebih baik dari saya secara fisik psikis dan emosi. Entahlah, apa yang menarik dari gadis itu sehingga dia meninggalkan saya. Saya merasa diolak-olok secara tidak langsung oleh gadis busuk itu, oups. Saya melihatnya bersama gadis itu di parkiran, ingin rasanya saya datang dan menciumnya di depan gadis itu biar dia tahu kalau pasanganya itu adalah bisexual. Nyatanya, memang saya bodoh dan malah diam saja. Sebuah ironi memang. Dia bilang pada saya,” kamu terlalu superior dan saya tak mampu bersinambung dalam bentuk apa pun terhadap kamu”. Kalo sudah begini, siapa yang lebih superior, saya atau dia. Dimana logikanya, sang superior didepak oleh sang biasa yang benar-benar biasa. Satu hiburan tambahan buat alam. Silahkan kalian-alam juga anda-tertawa sesuka hati. saya tidak peduli.

Prosa janggal tak teraksara, sebuah nama bodoh yang saya buat penuh cinta dan diakhri kebodohan. Kalian tahu, kenapa saya beri dia nama “prosa janggal tak teraksara”?.
Karena dia adalah sebuah paparan keindahan yang salah-karena dia laki-laki-yang tak bisa saya tebak hingga saat ini. Saya mencintai dia dengan segala kapasitas superiorku yang ternyata tidak se-superior itu.

karbonasi: rokok

Sore ini mengagumkan, sungguh. Tuhan sedang senang kali ini, pikirku. Dengan mood bagus, DIA menghadirkan guratan senja merah di antara cacahan putih. Matahari dengan lapang dada menghindar, matahari tau benar dia tak dibutuhkan. Lukisan alam yang sempurna, gumam dalam hati yang diakhiri dengan senyuman. Berdiam diri dan terkagum selama beberapa menit kemudian melanjutkan perjalanan. Rambut saya telah pendek, hasil salon dekat rumah. Celana pendek telah digantikan dengan jeans belel berusia berbulan. Kaus kerah sabrina rela ditiban dengan cardigan-yang juga hitam-demi kesopanan. Tas slempang hitam yang senada dengan convers-yang juga hitam-klasik, seragam waktu kuliah. Menapaki jalan pinggir kota sambil sesekali menghujatnya lantaran asapnya lebih kejam dari bilah pedang mana pun. Jakarta bias membunuh dengan cepat tanpa perlu kau sadari. Seperti angin duduk yang mengambil nyawa tanpa jejak. Kau terbengong, kau kaki dank au mati, begitulah. Peak hour, memang lebih parah. Asap kendaraan seakan memusuhi secara frontal walau kita tak melawan. Tutup tanganmu atau kau mati.


Kampus ini, menguar sejuta kenangan manis. Beberapa pahit yang dengan sengaja saya kokohkan jadi manis. Cukup hidup saya yang hancur, jangan dunia pedidikan saya juga ikut hancur. Jika itu terjadi, matilah saya.

Saya telah berjalan jauh dari mulut gerbang kampus. Kemudian duduk sebentar lantaran cape. Menyulut rokok dan memainkanya ke langit. Saya sangat menyukai saat-saat seperti ini. Menikmati kesederhanaan hidup yang telah ruwet dari sananya. Menikmati rokok sambil merenung adalah kegiatan yang menyenangkan, silahkan dicoba kapan-kapan ya?

Anak itu kembali datang. Duduk manis di sebelah saya tanpa perlu di suruh. Saya mulai heran, kenapa setiap saya mulai menyelami diri, anak itu selalu datang. Kali ini tanpa pasta coklat tapi tetap denga baju yang sama. Dia tersenyum dan melekatkan pandangan pada saya. Anak ini manis, piker saya dalam hati.

“kakak jangan kebanyakan merokok, ntar mati lo!”.
‘sanrai aja. Hidup memang harus dinikmati bukan?. Ini cara kakak menikmati hidup”.
“memangnya masalah kakak bias ilang kalo ngrokok’.
Anak ini semakin pintar saja. jago sekali dia menasihati orang tua.
“engga juga, seengganya ini bias nhebuat kakak lebih focus. Semacan sugesti begitulah”.
“hm…..”.
Anak itu terdiam dan kembali menatap saya. Entahlah, mengertikah dia tentang apa yang saya ucapkan barusan.

‘kak, saya minta rokoknya. Saya mau fokus, kayak kakak!”.
Saya terdiam menelaah permintaan anak ini. Menatap lekat matanya dan mencari keseriusan.
‘kamu serius?’.
“seriuslah!”.

Saya salutkan sebatang kemudia saya sematkan ke mulut anak itu. Dia termangu, memandang ke depan jalan dan sembil menikmati rokok pemberianku. Hidup anak ini pasti-juga-berat, pikirku dalam hati.
Kami seakan seri dalam posisi yang juga seri. Perkenalan anak itu terhadapa rook yang tanpa dia sadari adalah awal perkenalanku terhadap rokok dulu.

Saturday, September 12, 2009

muasal radikalitas saya.

Saya hanya berdua dengan adik saya ketika orangtua saya bertengkar. Bukan pertama kalinya bagi kami, melihat mereka bertengkar. Namun, belakangan ini frekuensinya semakin sering saja. Saya diam dan adik saya juga diam. Laki-laki itu mengangkat tanganya dan menaikan keras suaranya. Sangat lantang untung pukul 1 dini hari. Mereka saling menyahut dalam intonasi keras. Semakin keras mereka berteriak, saya semakin meringkuk dalam cemas. Saya dan dia-adik saya- saling menatap dan menelan ludah. Saya sudah kelas 3 SMP saat itu, namun saya tak keluar dan melerai mereka. Saya masih terlalu takut untuk itu. Ini masalah orang dewasa, jadi biar mereka yang menyelesaikan sendiri, pikir saya. Suara-suara kian mengencang dan selingi tangis. Saya keluar karena saya tau, itu tangisan ibu saya. Saya tak mau dia menangis, saya sayang dia. pria itu menacungkan tanganya dan mengusir ibu saya. Ibu saya naik pitam, lalu memasukan smua baju dan perlengkapan ke dalam tas coklat. Saat itu, saya memaksa ikut. Laki-laki itu melarang dengan keras. Saya menurut dan saya hanya mengantar ibu saya mencari taksi. Berjalan dalam gelap bersama ibu saya yang sedang menangis, bukan perkara mudah. Saya tak tau harus melakukan apa dan berbicara apa. Saya dan dia berjalan dan tanpa bicara. Mencegat taksi dan membantunya masuk ke dalam taksi. Itu pertama kalinya, saya melihat ibu saya pergi meninggalkan saya. Hidup saya mulai kacau pasca kejadian itu. Pria busuk itu lebih parah. Saya mulai benci dia. Saya mendadak radikal dan sinis pada saat bersamaan.

Sunday, September 6, 2009

Saya sadar, saya benar-benar sendiri.

Sekali lagi, saya terbaring anggun di lantai. Bersebelahan dengan tape tua yg mungkin sperempat umurku. Saya dan dia sama-sama tua. Bersama raga, jiwa ini menggerus rentang waktu hingga mengokoh pendewasaan. Saya bersama radio memaksa christina aguilera untuk menjadi budak. Bernyanyg tanpa henti dibawah tangan kejam yg berkoalisi dengan tombol play dan repeat. Entah brapa lama dia terengkup lelah didalam deck tape tuaku itu. Ia melantung indah dengan aksara yg menyenangkan. Saya menjadi damai.

Kau sudah tau bukan, aku dan rokok sudah berteman. Nikotin dan tar telah mengawiniku, saat filternya bersetubuh dengan bibirku. Cafein absen kali ini. Dia tak kutemukan di rak. Hanya kutemukan teman sejawatnya-susu. Susu (red.miln) bersedia mengantikan cafein untuk berangkulan mesra bersama nikotin dan aku. Saya menjadi babi, terbaring malas dengan surga buatanku sendiri. Tentulah asap yg menjadi kubangan lumpurnya. Saya tidak dekil, tapi saya tetap bau-bau asap.

Saya benar-benar sendiri, dalam segala aspek. Saya tidak menjalin hubungan bodoh- yg berlabel cinta- kepada siapa pun. Dan saat ini, saya benar-benar sendiri. Saya mungkin bergelimangan jejaring pertemanan diluar sana. Jejaringnya bisa jadi sangat membingungkan. Kadang saya tidak tau dia namanya siapa dan teman dari temanku yg mana. Kadang saya harus bertopeng kenal-padahal berkerut dahi-saat disapa olehnya. Saya merasa hingar bingar dikelilingi mereka. Menjadikan mreka seberharga emas ato batu mulia lainya. Saya pun menjadi serapuh lidi, jika saya ditanggalkan mreka. Mungkinkah aku sebeharga mreka di kacamata aku terhadap mreka. Entahlah.

Namun pada akhirnya, saya brakhir dikamar ini. Kembali bergumul dengan tape tua, nikotin dan kafein-kadang teh kamomile ato susu- di dalam kamar kecil, gelap namun seru. Stelah kamar ini terlalu benderang, saya akan pindah kekamar tanah yg lebih gelap dan abadi. Saya tidak akan diganggu disana. Dan tak mungkin bisa lebih benderang. Saya tetap sendiri.

saya dan kematian...

Saya gagal mati.

Saya manangis hingga sesak. Mengelola produksi air mata dan udara, sangatlah susah pda waktu bersamaan. Diatas gundukan tanah merah, saya berdiri dan mematung. Lama sekali saya tak bergeming. Entah tetes keberapa air mata ini. Gundukan ini semakin mengering. Baru saja saya siram, tapi seketika mengering. Saya duduk dan terpaku. Melafadzkan tulisan dalam hati, nama manusia diatas kayu yg tertancap diatas gundukan tanah. Kuburan.

Saya tidak kenal orang itu. Saya juga tak tau kenapa saya kemari. Saya pulang kuliah, dan berbelok kesini. Tanahnya masi basah. Bunganya masih segar. Saya datangi dan berakhir saat ini. Saya sedih bukan untuk manusia ini. Saya sudah bilang, saya tak kenal dia.
Berjuta kata, tertelan tanpa bersuara. Secara kompak mreka diam saat haknya kucabut. Tertanam hingga busuk dalam hati. Saya pun tak bisa berdoa. Tak tau harus berdoa apa. Berdoa yang seharusny mati bukan dia. Tapi aku. Dia sangat beruntung dan aku sangat sial. Satu kesempatan mati telah hilang. Dengan paksa sang maut menggaetnya, bukan aku. Menghela nafas yang dalam. Kemudian berteriak, kapan giliranku. Saya sudah bersabar, tak melakukan atas inisitif sendiri. Jangan lama-lama. Saya mau menunggu hinggu 3o tahun. Masi ada waktu 9tahun lagi. Saya tunggu kamu.

Lamat-lamat, kaki berjalan lambat. Menjauhi pelataran pemakaman. Sekali lagi saya ucapkan selamat. Entah siapa kamu yg di bawah sana. Selamat, hakiki keabadian telah kau rengkuh.


Kesempatan mati saya gagal lagi.

Saya bangun pagi sekali. Sekitar pukul 8. Dikatakan pagi, lantaran saya biasa bangun jam 11. Sebuah sirkulasi menjalani hidup yg salah. Saya memulai hari saya pukul sebelas dan mengakhiri hari pukul 3 dini hari. Saya rasa tubuh saja sudah merenta. Mengalfakan saat pembagi sinar matahari pagi. Memundarkan jam makan pagi menjadi makan siang. Jam makan siang menjadi makan malam dan makam malam menjadi makan dini hari. Perut dan mulut sudah tertunduk mati dibawah perintah kebiasaan yg telah terpelihara oleh waktu.

Siang itu panas sekali. Secara harafiah dan kiasan. Sedari pagi, wanita tua yg menyahut dipanggil bu haji, menggerutu saja. Memaksa telinga mendengar keluhanya, membuat hidup menjadi hitam. Saya bergegar, mengepack barang dan keluar rumah. Saya mendatangi sebuah departemen yg dapat menukar kehidupan dengan masa depan. Terdengar mengerikan memang. Namun, banyak saja orang bodoh yg berminat, termasuk aku. Dikatakan begitu karena kita rela beradu jotos hanya untuk sebuah tempat duduk yg bias dengan kehidupan besok dan lusa. Saya harus rela menjadi teri untuk itu. Berada ditengah masa dgan tubuh keringat, bau dan sesak nafas. Saya di hantam dari belakang, saya balas hantam lagi. Seperti itu seterusnya. Saya senang. Saya megap2 mengais kadar oksigen yg menjadi seberti batu mulia, mahal dan bernilai. Saya pikir saya bakal mati. Entah kehabisan oksigen atau terinjak hingga mati. Nyatanya saya tetap hidup. Tidak lebih baik, ketika raga hidup tapi jiwa mati.

saya orang yang tebuang.

"selamat malam"
kalimat sapaan itu yang aku ucapkan ketika memasuki sebuah rumah. tanpa asalamualaikum, seperti layaknya muslim lainya. sang pemilik rumah pun tau saya siapa. saya orang seperti apa. mereka tak pernah berharap aku mngucapkan kalimat tersebut.

pandangan mereka tajam. ini bukanlah balasan yang kumau atas salamku. pandangan mereka seakan men-scaning diriku dari atas sampai bawah. apa yang slah dengan pakaianku. aku hanyamenggunakan kaus hitam dengan potongan sabrina, celana jeans yang baru seminggu kupakai nonstop dan sepatu convers klasikku. mungkin rambut. tapi tak ada yang salah. tadi pagi aku sudah keramas. mungkin mereka kaget akan kedatanganku.

"selamat malam semua. maaf, saya baru dateng. saya baru selesai nari kelapa gading buat acara taon baru".
lagi-lagi tak ada jawaban. kemudian aku melongos ke kamar dan melepaskan tas rajutku. aku tidak peduli banyak dengat mereka. kemudian aku bergegas mandi dan kembali memakai bajuku. hal kemudian terpikirkan olehku adalah makan. sesaat sebelum aku sampai sini, aku sempat membeli sebungkus nasi goreng. yang akan kulakukan dengan makanan itu adalah memakanya. rumah ini adalah rumah saudaraku. pemilik rumah sedang mengadakan acara sendiri untuk menyabut tahun baru. aku tidak peduli dengan mereka. namun, aku harus menggantikan keberadaan ibu disana.

"saya keluar dulu ya!. mau ngerokok!"
lagi-lagi aku mendapatkanm perlakuan sama. aku melongos keluar dengan membawa piring beserta satu can coca-cola. kemudian aku membuka bungkus nasi gorengku. kulahap makanan itu dengan sangat cepat. tiga kali kunyahan sudah cukup untukku. kemudian habis lalu kulanjutkan dengan meminum coca-cola. sambil sesekali menyeruput, aku membakar rokok.

aku memang bukanlah orang speti yang di dalam. saya orang susah, sangatlah susah. mereka seebaliknya dan mereka tak peduli akan saya. jadi tak ada alasan saya peduli dengan mereka. batang kedua dan aku masih berada di luar. masih bertahan dengan kaus hitam leher sabrina bertuliskan siksa kubur dan celana pendek yang merangkap sebagai boxer. sesakali ada adegan mengaruk paha lantaran nyamuk pun menamanaiku. aku bukanya senang tapi malah kesal. mereka datang dan menggangu, begitulah seterusnya.

satu diantara mereka keluar, sepupu tertuaku. pria lajang berusia 28 tahun itu keluar dan membawa burger. bukan santapan yang cocok untuk jam 2 pagi, namun tetap kulahap. kemudian dia bertanya.
"kok ga ikut ngobrol di dalam?"
lama aku tak menjawab. sehela, dua hela asap keluar dari mulutku.
"pernah dengar yang namanya kasta ga?. saya bukan kasta kalian."
"tapi kamu kan bagiuan dari keluarga!".
"kasta ya tetap kasta, walaupun keluarga. sistem dunia zaman sekarang kek tai. yang kaya tambah kaya yang miskin tambah miskin. yang baik jadi jahat dan yang jahat tetap jadi jahat!, ngerti?".
"kok kamu bisa berpikir begitu?. kok kamu sekarang berubah. kamu gak kaya gita yag dulu!".
"mas ari, hidup itu palsu. kebaikan juga palsu. gw yang dulu ya palsu. sekarang yang asli. jahat dan cynical!".
"masih belon ngerti juga ya?. orang susah kayak saya ga bakalan hidup kalo jadi baik".
dia masih diam tanpa suara. matanya pun lekat kepadaku. batang kelima pun kubakar. kuhirup dalam-dalam, lalu ku hempas...hidup masih panjang pikirku.

saya orang yang tebuang.

"selamat malam"
kalimat sapaan itu yang aku ucapkan ketika memasuki sebuah rumah. tanpa asalamualaikum, seperti layaknya muslim lainya. sang pemilik rumah pun tau saya siapa. saya orang seperti apa. mereka tak pernah berharap aku mngucapkan kalimat tersebut.

pandangan mereka tajam. ini bukanlah balasan yang kumau atas salamku. pandangan mereka seakan men-scaning diriku dari atas sampai bawah. apa yang slah dengan pakaianku. aku hanyamenggunakan kaus hitam dengan potongan sabrina, celana jeans yang baru seminggu kupakai nonstop dan sepatu convers klasikku. mungkin rambut. tapi tak ada yang salah. tadi pagi aku sudah keramas. mungkin mereka kaget akan kedatanganku.

"selamat malam semua. maaf, saya baru dateng. saya baru selesai nari kelapa gading buat acara taon baru".
lagi-lagi tak ada jawaban. kemudian aku melongos ke kamar dan melepaskan tas rajutku. aku tidak peduli banyak dengat mereka. kemudian aku bergegas mandi dan kembali memakai bajuku. hal kemudian terpikirkan olehku adalah makan. sesaat sebelum aku sampai sini, aku sempat membeli sebungkus nasi goreng. yang akan kulakukan dengan makanan itu adalah memakanya. rumah ini adalah rumah saudaraku. pemilik rumah sedang mengadakan acara sendiri untuk menyabut tahun baru. aku tidak peduli dengan mereka. namun, aku harus menggantikan keberadaan ibu disana.

"saya keluar dulu ya!. mau ngerokok!"
lagi-lagi aku mendapatkanm perlakuan sama. aku melongos keluar dengan membawa piring beserta satu can coca-cola. kemudian aku membuka bungkus nasi gorengku. kulahap makanan itu dengan sangat cepat. tiga kali kunyahan sudah cukup untukku. kemudian habis lalu kulanjutkan dengan meminum coca-cola. sambil sesekali menyeruput, aku membakar rokok.

aku memang bukanlah orang speti yang di dalam. saya orang susah, sangatlah susah. mereka seebaliknya dan mereka tak peduli akan saya. jadi tak ada alasan saya peduli dengan mereka. batang kedua dan aku masih berada di luar. masih bertahan dengan kaus hitam leher sabrina bertuliskan siksa kubur dan celana pendek yang merangkap sebagai boxer. sesakali ada adegan mengaruk paha lantaran nyamuk pun menamanaiku. aku bukanya senang tapi malah kesal. mereka datang dan menggangu, begitulah seterusnya.

satu diantara mereka keluar, sepupu tertuaku. pria lajang berusia 28 tahun itu keluar dan membawa burger. bukan santapan yang cocok untuk jam 2 pagi, namun tetap kulahap. kemudian dia bertanya.
"kok ga ikut ngobrol di dalam?"
lama aku tak menjawab. sehela, dua hela asap keluar dari mulutku.
"pernah dengar yang namanya kasta ga?. saya bukan kasta kalian."
"tapi kamu kan bagiuan dari keluarga!".
"kasta ya tetap kasta, walaupun keluarga. sistem dunia zaman sekarang kek tai. yang kaya tambah kaya yang miskin tambah miskin. yang baik jadi jahat dan yang jahat tetap jadi jahat!, ngerti?".
"kok kamu bisa berpikir begitu?. kok kamu sekarang berubah. kamu gak kaya gita yag dulu!".
"mas ari, hidup itu palsu. kebaikan juga palsu. gw yang dulu ya palsu. sekarang yang asli. jahat dan cynical!".
"masih belon ngerti juga ya?. orang susah kayak saya ga bakalan hidup kalo jadi baik".
dia masih diam tanpa suara. matanya pun lekat kepadaku. batang kelima pun kubakar. kuhirup dalam-dalam, lalu ku hempas...hidup masih panjang pikirku.

karbonasi

Anak itu, ayunan dan saya
Saya selalu melakukan hal ini. Kegiatan bodoh yang menyenangkan. Terbaring seru mengenakan kaus hitam-leher sengaja dipotong sabrina-dan sebuah clana pendek-jeans yg dipotong asal selutut. Sambil memutar rambut dengan jari telunjuk kanan dan sambil menghisap rokok menthol ditangan satunya. Posisi yang nyaman mendengarkan lagu balad tema cinta yg konyol. Sesekali bergerak, membenarkan posisi atau menyeruput kopi yang juga ritual dasar. Kepala saya terlalu berat untuk berpikir, kepenuhan. Volume otak kecil yang dipaksakan memuat banyak memoar, overload hingga short term memory. Jeleknya lagi, kejadian buruk slalu diingat dengan matang dan sebaliknya. Saat ini, adalah memoar yang menyedihkan. Sebuah sebab dan akibat. Saya muak lantaran memoar buruk tadi kemudian brakhir sperti ini. Bukan pertama kali, jadi sebuah kebiasaan.

Ruangan kecil ini sudah menjadi pengap. Berisikan saya, radio, nikotin dan juga ingatan yang menguap. Menggumpal dengan sempurna dan menyedot oksigen. Saya bisa mati jika bertahan. Merasa belum 30 tahun, saya memutuskan ke luar.

Berkoloni, saya jalan tak tentu. Ada saya, pack menthol rokok juga handphone. Menjadi bodoh kemudian lantaran lupa memakai jaket, dingin dan bernyamuk. Entah kemana saya membuana. Sebuah lapangan dengan penerangan seadanya, saya memutuskan berhenti. Ada sebuah ayunan diatas bak pasir, saya duduk. Mungkin menahun usia ayunan ini, berbunyik gemerinyik saat bergerak. Menyulut rokok kesekian kemudian menatap langit, mencari kegiatan.

Dia berjalan pelan tapi pasti. Tanpa malu, dia duduk di ayunan samping ayunan saya. Dia tersenyum dan menunduk. Saya pun menunduk lantaran keki. Kami berdua merunduk dan ayunan bergerak bermomentum satu. Kami adalah karbonasi. Dia adalah saya-dulu. Dan saya adalah dia-kemudian. Sbuah panorama satir pukul 2 dini hari.



kita, mana yang cermin.

Anak itu lucu dan menggemaskan. Bayangkan saja perawakanya: kecil, kurus, hitam dan lincah. Potret anak kecil dengan segudang pertanyaan. Saya gemas kemudian, namun saya tutupi. Sadar bahwa saya momok menakutkan buat anak, saya memutuskan diam. Dia mengenakan kaus putih di dalam sebuah baju kodok sepaha dan sebuah sepatu semi pantopel. Dia juga menggenggan sebuah pasta coklat(red.choki-choki)di tangan kananya. Dia menggoyangkan ayunan dengan kaki sekali tolak. Ayunan ini memang didesign untuk usianya.

'kamu kok ga tidur?', tanya saya sambil mengayun ringan. Saya sengaja membuang muka saat menghembus asap.

'belum, kakak?'.

'belum juga. Kakak sedang bingung'.

'saya tidak'. Singkat dan membias. Anak ini pintar memainkan benak orang.

'nama kamu siapa?. Mama kamu ga nyariin?'.

'kakak. Mama saya di rumah, sedang bertengkar'. Jawabnya enteng sambil membuang plastik pembungkus pasta yang telah kosong.

'maaf ya, kakak ga tau'

'kalo saya gede. Saya ga mau nikah, biar saya ga brantem. Saya tau rasanya jadi anaknya'.

'kakak juga ga percaya sebuah pernikahan. Sebuah konsep penyatuan yang menyedihkan'. Pelan saya menjawab kemudian berpikir panjang. Anak ini serupa dengan saya. Bingung dan memutuskan untuk bengong, rokok telah habis.

Saya diam dengan benak memantul, begitupun anak itu. Malam begitu hening. Bulan sedang membulat sempurna. Walau tanpa angin, terasa sangat nyaman. Malam masih panjang pikirku. Memandang anak itu lekat-lakat dan tersenyum. Smoga anak itu bisa berkembang lebih baik dari saya. Tak tau keadaan sebenarnya, saya menyulut rokok menthol lagi. Menghirupnya dalam-dalam dan menikmatinya.

sebuah novel: Abu-abu

Abu-abu
luna dan spotlight

Sangat hingar, juga ricuh malam ini. Sejumput pengharapan dan asa harus kuraba di dalam ruangan ini. Lampu, kadang temaran kadang gelap-seolah mengajak duel terhadapku. Banyak manusia dan banyak keringat. Mereka bergoyang pantat dan mengasruk lawan dansanya. Mereka layaknya budak bebas-namun bahagia- di bawah pecut dj. Mreka membayar untuk itu. Sang dj pun memegang kuasa penuh, sangat menyenangkan rasanya. Kali ini pun berbeda. Adalah kaberet yang membuat malam ini special. Layaknya stimulus yang tertanam oleh waktu. Jika billboard menyala terang, maka dengan sendirinya manusia-manusia berdatangan. Kami yang mereka tunggu, siapa lagi. Kami robot yang tunduk pada mreka. Dan mreka membayar kami untuk itu. Sebuah sirkulasi yg aneh. Saya runutkan untuk anda yang kurang mengerti. Manusia membayar sejumlah nominal untuk dijadikan budak. Sang majikan memainkan cambuk audio diselingi visual untuk membudaki para budaknya-budak membayar lg kepada majikan. Dan kami adalah rotasi paling bawah-juga puncak. Kami adalah robot yang juga dibayar oleh budak. Semakin bodoh para budak, maka semakin senanglah kami. Membayangkan sejumlah nominal hanya bermain dibatas libido mereka yang abu-abu. Kami adalah permata yang boleh dilihat tapi tak boleh disentuh.

Di ruangan ini terdapat 12 orang. Mereka lalu lalang tanda sibuk. Baju kami serupa tapi tak sama. Terbuka di bagian atas dan bwah. Tak jarang ada aksen renda dan jaring di sana-sana. Rambut kami tertutup oleh juntaian bulu-bulu. Kami berwarna, tapi bukan karnaval. Masing-masing memiliki warnanya sendiri. Saya berwarna ungu, gelap dan misterius. Sebuah nama yang otentik pun berkarbonasi dengan warnaku. Kalian bisa memanggil saya luna-nama panggung saya. Saya tak perlu menjelaskan korelasi ungu dan luna bukan. Karna saya tidak dibayar untuk itu. Jika kau memanggil nama ktp kami, maka kalian tidak bisa menemukan kami. Memang menyulitkan memiliki dua nama. Kami bukan boneka perca, tapi kami boneka porselen. Cantik dan indah di luar, namun kosong di dalam.

Saya memandang riasan di cermin. Merunut tatanan baju saya, dari atas sampai bawah. Rambut bob, lingerie ungu-dengan perut terbuka, stocking hitam dan high heels hitam-7cm. Saya memutar tubuh saya dan terpaku pada bagian bokong. Terdapat pita besar-berenda putih-disana. "Wardrobe kali ini mengagumkan". Gumanku. Sesekali saya menggoyangkan bokong, tanda puas. Dalam hati saya bergumam, "saya luna, gadis sexy, misterius dan kelam". Mereka tidak perlu kenal siapa saya. Siapa nama saya. Atau pun berapa umur saya-yang belum legal. Mereka datang dan membayar hanya untuk melihatku berlaga kabaret. Saya adalah drag queen. Dan panggung ini adalah kamar saya dan gradien-gay club- ini, adalah rumah saya. Mereka tidak membayar saya untuk tahu siapa saya.

"sistalavista", the kabaret. Showing at gradien club at 21th desember 2008. Tagline yang terpampang besar-besar pada billboard di depan club. Harga tiket masuk @150.000 + free first drink. SistaLavista adalah nama grup kabaret kami. Saya dan sebelas drag queen lainya, sudah menjadi residance drag queen di club ini. Sebulan dua kali-pada minggu ganjil-kami pentas. Dalam sekali pentas, saya di bayar lima ratus ribu.
"gimana penampilan gw, beb?". Tukas cherry- drag queen berbaju merah tua-sambil memutar badan di depn kaca.


Tirai membuka dan sorak mengiringi. Sebuah otomatis yang bekerja tanpa perintah, seperti terkekang waktu begitu. Satu persatu kami-para drag queen- keluar dari tirai. Berjalan setapak kucing guna mendapatkan pandangan-bokong-yang sexy. Kami-laki-laki-memang sudah terbiasa mengenakan high heels. Berbagai warna bermunculan sesuai tempo yang ditentukan. Saya keluar stelah reffrein pertama. Kali ini, rock steady dari all saint yang mengiringi kami. Saya berada di posisi kanan pada baris ke-dua. Kreography ini sudah kami mampatkan sekitar tiga hari lalu. Bang fitrah adalah sang koreografer di belakang tarian binal ini. Smakin binal kami menari, maka-dengan sendirinya-penonton berteriak. Saya sedang memainkan alter ego saya. Memanjakan kelaian skidzofrenia saya. Membungkan jiwa-asli- dan memaparkan jiwa lain saya. Saya adalah dimas dan juga luna. Dimas adalah sisi luar cermin dan luna adalah sisi dalam cermin. Sangat menyenangkan pekerjaan saya ini.

Sebuah ruangan telah dipersiapkan untukku. Saya penari telanjang-juga. Seperti ini cara kerjanya. Saya adalah penari kabaret bersama sistalavista. Menari berkelompok dan mencoba menonjolkan diri. Semakin menonjol anda, maka smakin menguntungkan. Jika ada penonton yang suka, maka dia bisa mendatangi bang fitrah. Melakukan perlobian hanya untuk melihatku menari terlanjan-live dan private. Sejumlah uang harus dibayarkan untuk itu. Kemudian bang fitrah menyiapkan sebuah ruangan-yang hanya ada sofa, meja dan sebuah tiang diatas meja. Penyewa-jasaku-menunggu dengan puncak libidonya dan kemudian saya datang. Penyewa menelan ludah saat saya bergelut pada tiang dan menyisihkan perseri costumku. Semakin polos saya, maka semakin turun anak teka sang penyewa. Kemaluan penyewa tegang, maka tugas saya pun tuntas.
Lima ratus ribu adalah uang yg saya dapat untuk menghibur panas ini. Dan penyewa harus membayar satu juta hanya untuk melihat saya bergeliat diatas meja-dan tiang-dengan tubuh tanpa benang. Sebuah harga yang wajar untuk saya. Saya sudah cukup puas dengan ini, entahlah.









Abu-abu
dia datang, duduk dan mendengarku bercerita

Seharusnya saya tahu, dia yang akan datang. Sebuah bentuk eksistensi statis yang juga dikukuhkan oleh waktu. Setiap kamis malam-minggu ke-dua stiap bulan-dia datang mengunjungi club, Lebih tepatnya saya. Tanpa ragu dia datang dan tanpa perintah dia pulang. Ini minggu kedua bulan febuary, kembali hadir-seharusnya saya tahu. Dia membuat kunjungan kepada sebagai sebuah ritul-datang, duduk dan mendengar. Sebuah polo short-berbagai warna-atau kemeja tangan pendek dipadu celana khaki serta sepatu kulit, selalu dia kenakan. Sebuah seragam layak sd dengan merah-putihnya atau sholat dengan mukenanya, juga sebuah bentuk eksistensi. Dia selalu datang dan duduk pada waktu dan tempat duduk yang sama. Sebuah pilihan yang janggal untuk memilih tempat duduk. Orang lain memilih tempt duduk yang mendekati dek dj ato bar, namun dia beda-semakin jauh dari keramaian semakin baik. Saya tidak paham filosofi ini, saya tidak pernah bertanya dan tidak akan. Dia hanya minum segelas wine-putih dengan tahun dan brand yang sama-dan mengedar pandang, padaku. Dia terpesona namun tidak tertarik. Dia melihat namun tak tertegun. Hanya penasaran mungkin. Dia kembali duduk pada tempat yang sama. Memandang kosong setiap orang yang memberikan senyum padanya. Bukan usiaku untuk itu, pikirnya. Tegukan terakhir dan dia masih melihat saya berdansa, Dia tidak pernah senyun kepada siapa pun, tidak dengan saya. Dia seolah memiliki selaput yang hanya rentan terhadapku. Tegukan terakhir-gelas kedua-dan aku masih berdansa, Dia berkesiap bangun dan pergi-Saya tidak peduli dan menyelesaikan dansaku. Reffrein terakhir sebelum closing. Saya akan menyibakkan rok-pita-rampel ini dan me-mantati para penonton, sangat binal memang. Dua gelas-wine-kosong tetap ada di meja, namun dia telah pergi. Dan ada 3 lembar pecahan ratus ribu di sampingnya. Harga yang murah untuk dua gelas anggur itali. Saya berani jamin, anggur tersebut tidak lebih dari lima tahun usianya. Yang saya tahu, smakin lama anggur berumur maka semakin mahal harga. Dia telah pergi, dan saya tau dia kemana.


Saya berjalan anggun-dengan baju yang juga anggun-mendatangi sebuah ruangan. Sebelum itu, saya menyambangi kekasih hatiku-my richard-dan memintanya membuatkanku minuman. Tanpa banyak kata-sedikit isyarat-dia kembali menari bersama gelas dan botol. Saya kagum dengan orang ini, dia sangat cekatan. Dia mengelus mesra badan botol-layaknya tubuh seorang gadis-kemudian melemparnya ke udara kemudian ditangkapnya kembali-dengan mahir-lalu diciumkan bibir botol dengan bibir gelas. Dia adalah sang laki-laki perkasa yang sedang berdansa dan botol adalah gadis dansanya. Apik, menarik juga mencengangkan. Kemudian dia menyodorkan gelas kecil kepadaku, long island. Saya terlalu kecil untuk segelas besar, katanya. Sekali teguk dan saya puas. Mungkin dia benar, gelas kecil untuk porsi anak kecil. Dia sangat ahli dalam hal ini. Bayangkan, ada 12 drag queen disini dan dia mengingat semua minuman kesukaanya. Dan salut saya yang ketiga, dia masih cinta wanita. Sebuah ironi memang, pria normal yang bergelut di antara kubangan pria homo. Dia tidak pernah mengharapkan ditaksir wanita, tidak diganggu seorang homo saja sudah bagus, pikirnya. Dia bukan homophobic-untungnya-jadi dia tidak takut padaku. Dia sayang-sekali- padaku. Aku pun begitu. Selain maggie-ikan mas peliharaanku-hanya dia yang mau menerimaku. Setidaknya untuk saat ini. Dia adalah abang paling luar biasa yang saya punya. Kakak kandungku, mana mau menerimaku setelahku begini. Kadang kala aku berpikir, apa pandangan gadis yang didekatinya setelah tau bahwa dia bekerja di club gay. Mudah-mudahan dia tidak sesial itu, doa saya dalam hati. Dia selalu mau aku bahagia. Dan saya mau dia selalu bahagia-sudah seharusnya. Selain minuman racikanya enak, nasi goreng sosis buatanya pun jagoan. Saya selalu habis dua piring, kadang lebih. Aquarium si maggie adalah pemberianya.
Aquarium bulat kecil telah menggeser toples sebagai rumah si maggie. Sang toples kembali menjadi fungsinya. Satu lagi saya dan dia pernah membuat tatoo yang berbeda di tempat yang sama-bagian atas bokong.

Monday, April 20, 2009

mati adalah sebuah filosofi

saya tahu sang tuhan murka padaku.
parahnya lagi, langit dan bumi ikut-ikutan menertawakanku.
saya sudah lupa caranya menangis.
tapi saya ingat rasanya.
saya berasa mati.

dunia ini terlalu benderang buatku.
membuat saya panik setiap saat.
saya kikuk ditengah lampu yang kadang terang-kadang gelap.
saya lebih suka gelap.
saat terang, saya menjadi parau.
mungkin di dalam kubangan - tempat belatung hidup- adalah tempatku.
gelap, sepi dan abadi. tanah.